BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Visi Indonesia Sehat 2014
adalah meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat
madani, melindungi kesehatan
masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata,
bermutu dan berkeadilan, menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya
kesehatan, serta menciptakan tata kelola
keperintahan yang baik (Depkes
RI, 2010).
Upaya untuk meningkatkan
derajat kesehatan salah satunya dengan cara menurunkan jumlah penderita dengan
gangguan metabolisme mineral tubuh. Sebagaimana diketahui salah satu mineral
utama penyusun tulang adalah kalsium. Kurangnya konsumsi kalsium akan
mengakibatkan berkurangnya kalsium yang terdapat pada tulang , sehingga lama
kelamaan akan terjadi perubahan pada mikroarstektur tulang dan tulang menjadi
lunak. Akibatnya tulang menjadi kehilangan kepadatan dan kekuatanya, sehingga
mudah retak / patah(Smeltzer, 2002).
Keperawatan adalah
suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan ilmu dan kiat keperawatan
yang berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio spiritual yang komprehensif serta
ditujukan kepada individu keluarga manyarakat baik sakit maupun sehat yang
mencakup seluruh siklus kehidupan manusia.
Pelayanan keperawatan
dilakukan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan, pencegahan penyakit,
penyembuhan serta pemeliharaan kesehatan dengan penekanan serta pemeliharaan
kesehatan khususnya pada klien dengan Fraktur Iga (Gaffar, 2000:1).
Fraktur
patah
tulang adalah terputusnya hubungan normal suatu tulangatau tulang rawan yang disebabkan oleh
kekerasan. Fraktur pada iga (costae) adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang / tulang rawan yang disebabkan oleh ruda paksa pada spesifikasi
lokasi pada tulang costa (Oswari, 2000 ).
Kecelakaan lalu lintas
sering sekali terjadi di negara kita, khususnya di kota ini. Ratusan orang meninggal
dan luka-luka tiap tahun karena peristiwa ini. Memang di negara ini, kasus
kecelakaan lalu-lintas sangat tinggi. Kecelakaan lalu-lintas merupakan pembunuh
nomor tiga di Indonesia, setelah penyakit jantung dan stroke. Menurut data
kepolisian Republik Indonesia Tahun 2003, jumlah kecelakaan di jalan mencapai
13.399 kejadian, dengan kematian mencapai 9.865 orang, 6.142 orang mengalami
luka berat, dan 8.694 mengalami luka ringan. Dengan data itu, rata-rata setiap
hari, terjadi 40 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 30 orang meninggal
dunia.
Adapun di Sulawesi
Selatan, jumlah kecelakaan juga cenderung meningkat di mana pada tahun 2001
jumlah korban mencapai 1717 orang, tahun selanjutnya 2.277 orang, 2003 sebanyak
2.672 orang. Tahun 2004, jumlah ini meningkat menjadi 3.977 orang. Tahun 2005
dari Januari sampai September, jumlah korban mencapai 3.620 orang dengan korban
meninggal 903 orang.
Macam-macam Trauma, Trauma yang terjadi
kecelakaan lalu-lintas memiliki banyak bentuk, tergantung dari organ apa yang
dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim, disebut sebagai trauma benda tumpul.
Ada tiga trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu trauma kepala,
fraktur (patah tulang), dan trauma dada.
Penatalaksanaan untuk
penyakit ini Fraktur
1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika), Fraktur >2
iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks), Penatalaksanaan pada fraktur iga
multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ
intratoraks lain, adalah: Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block), Bronchial toilet, Cek Lab berkala
: Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah, Cek Foto Ro berkala. Jika penyakit ini tidak
segera ditangani maka dapat menimbulkan komplikasi gangguan pernafasan dan
pendarahan Seperti
pneumonia, pneumotorak, hematotorakdan yang lebih parah lagi dapat
mengakibatkan kematian. (Ganong, W.F., 2003).
Dari hasil pemikiran
tersebut diatas, penulis ingin membahas lebih lanjut tentang penyakit kusta
dalam bentuk makalah yang berjudul” Fraktur Iga”.
A. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam
penulisan ini adalah Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada Tn. A dengan Fraktur Iga
B. Tujuan
Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran secara umum
tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Fraktur Iga
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan
pengkajian keperawatan pada klien dengan Fraktur Iga
b. Mahasiswa mampu
mengelompokkan data sesuai dengan tanda dan gejala penderita Fraktur Iga
c. Mahasiswa mampu
menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan Fraktur Iga.
d. Mahasiswa mampu
membuat perencanaan keperawatan pada klien dengan Fraktur Iga.
e. Mahasiswa mampu membuat pelaksanaan
tindakan keperawatan pada klien dengan Fraktur Iga
f. Mahasiswa mampu
membuat Evaluasi keperawatan pada klien dengan Fraktur Iga.
D. Manfaat penulisan
1.
Manfaat bagi mahasiswa
a. Mahasiswa
mendapatkan pemahaman tentang konsep penyakit Fraktur Iga.
b. Mahasiswa
mendapatkan pemahaman tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Fraktur Iga.
c. Mahasiswa
dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang penyakit Fraktur Iga dan
komplikasinya, sehingga masyarakat menyadari akan pentingnya kesehatan.
2. Manfaat
bagi Akademik
Sebagai tambahan
referensi untuk melengkapi bahan pembelajaran dalam memotivasi
mahasiswa tentang Fraktur Iga melalui proses belajar dan praktik dilapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Dan Fisiologi
Sistem Muskuloskeletal
Aktivitas gerak tubuh
manusia bergantung pada efektifnya interaksi antara sendi yang normal dengan
unit-unit neuromuskular yang mengerakkannya. Elemen tersebut juga berinteraksi
untuk mendistribusikan stres mekanik ke jaringan sekitar sendi. Otot, tendon,
ligamen, rawan sendi, dan tulang saling bekerja sama agar fungsi tersebut dapat
berlangsung dengan sempurna (Noer S., 1996 Dalam Lukman 2009).
Struktur tulang dan
jaringan ikat menyususn kurang lebih 25% berat badan, dan otot menyusun kurang
lebih 50%. Struktur tulang memberi perlindungan terhadap organ vital, termasuk
otak, jantung, dan paru-paru. Reeves (2001) mengatakan bahwa kerangka berfungsi
untuk membentuk dan menopang tubuh, melindungi organ penting, dan berperan
sebagai penyimpan mineral tertentu seperti kalsium, magnesium, dan fosfat
(Smeltzer, 2002).
Otot yang melekat ke
tulang memungkinkan tubuh bergerak. Matriks tulang menyimpan kalsium, fosfor,
magnesium, dan flour. Menurut Rasjad (1998), komposisi tulang terdiri atas
substansi organik sebesar 35%, substansi anorganik sebesar 45%, dan air
sebesar 20%. Lebih dari 99% kalsium tubuh terdapat dalam tulang (Ganong, W.F.,
2003).
Tubuh manusia dewasa
mengandung sekitar 1.100 gram (27,7 mol) kalsium. Kalsium plasma pada keadaan
normal sekitar 10 mg/dl. Penurunan Ca2+ ekstrasel menimbulkan
efek eksitasi pada sel saraf, yang mengakibatkan tetani hipokalsemik, yang
ditandai oleh spasme ekstentif otot rangka, terotama otot-otot rangka dan
laring. Sumsum tulang merah ang terletak dalam rongga tulang menghasilkan sel
darah merah dan sel darah putih dalam proses yang dinamakan hematopoesis
(Lukman dan Nurma Ningsih, 2009:2).
Hormon yang mengatur
homeostatis kalsium adalah hormon paratiroid dan hormon kalsitonin. Paratiroid
mengatur konsentrasi kalsium dalam darah dan kalsitonin meningkatkan penimbunan
kalsium dalam tulang (Lukman dan Nurma Ningsih, 2009:2).
1. Sistem Tulang
Gambar 2.1. Anatomi Tulang
Klasifikasi tulang
orang dewasa digolongkan pada 2 kelompok, yaitu axial skeleton dan appendikular
skeleton. Seperti pada table berikut.
Tabel 2.1. Klasifikasi Tulang Orang Dewasa
1. Axial Skeleton (80 tulang)
|
||
1. Tengkorak
|
22 buah tulang
|
|
Tulang cranial (8 tulang)
|
1. Frontal 1
2. Parietal 2
3. Occipital 1
4. Temporal 2
5. Sphenoid 1
6. Ethmoid 1
|
|
Tulang fasial (13 tulang)
|
1. Maksila 2
2. Palatine 2
3. Zygomatic 2
4. Lacrimal 2
5. Nasal 2
6. Vomer 1
7. Inferior nasal concha 2
|
|
Tulang mandibula (1 tlng)
|
1
|
|
1. Tulang telinga tengah
|
1. Malleus 2
2. Incus 2
3. Stapes 2
|
6 tulang
|
1. Tulang hyoid
|
1 tulang
|
|
1. Columna vertebrae
|
1. Cervical 7
2. Thorakal 12
3. Lumbal 5
4. Sacrum (penyatuan dari 5 tl) 1
5. Korkigis (penyatuan dr 3-5 tl) 1
|
26 tulang
|
1. Tulang rongga thorax
|
1. Tulang iga 24
2. Sternum 1
|
25 tulang
|
2. Appendicular Skeleton (126 tulang)
|
||
1. Pectoral girdle
|
1. Scapula 2
2. Clavicula 2
|
4 tulang
|
1. Ekstremitas atas
|
1. Humerus 2
2. Radius 2
3. Ulna 2
4. Carpal 16
5. Metacarpal 10
6. Phalanx 28
|
60 tulang
|
1. Pelvic girdle
|
1. Os coxa 2 (setiap os coxa
terdiri dari penggabungan 3 tulang)
|
2 tulang
|
1. Ekstremitas bawah
|
1. Femur 2
2. Tibia 2
3. Fibula 2
4. Patella 2
5. Tarsal 14
6. Metatarsal 10
7. Phalanx 28
|
60 tulang
|
Total
|
206 tulang
|
a. Klasifikasi Tulang
Tulang manusia saling
berhubungan satu dengan yang lain dalam berbagai bentuk untuk memperoleh fungsi
system musculoskeletal yang optimal. Jumlah tulang dalam tubuh manusia ada 206
buah, yang terbagi dalam empat kategori, yaitu:
1) Tulang panjang,
misalnya tulang femur, tulang humerus, dan tulang klavikula.
2) Tulang pendek, seperti
tulang tarsalia dan tulang karpalia.
3) Tulang pipih, seperti
tulang sternum dan tulang scapula.
4) Tulang tidak beraturan
misalnya tulang panggul.
b. Fungsi Tulang
Fungsi utama tulang-tulang rangka adalah:
1) Sebagai kerangka
tubuh, yang menyokong dan member bentuk tubuh.
2) Untuk memberikan suatu
system pengungkit yang digerakan oleh kerja otot-otot yang melekat pada tulang
tersebut; sebagai suatu system pengungkit yang digerakan oleh kerja otot-otot
yang melekat padanya.
3) Sebagai reservoir
kalsium, fosfor, natrium, dan elemen-elemen lain.
4) Untuk menghasilkan
sel-sel darah merah dan putih dan trombosit dalam sumsum merah tulang tertentu.
c. Perkembangan dan
Pertumbuhan Tulang
Perkembangan dan
pertumbuhan pada tulang panjang tipikal :
1) Tulang didahului oleh
model kartilago.
2) Kolar periosteal dari
tulang baru timbul mengelilingi model korpus. Kartilago dalam korpus ini
mengalami kalsifikasi. Sel-sel kartilago mati dan meninggalkan ruang-ruang.
3) Sarang lebah dari
kartilago yang berdegenerasi dimasuka oleh sel-sel pembentuk tulang
(osteoblast),oleh pembuluh darah, dan oleh sel-sel pengikis tulang
(osteoklast). Tulang berada dalam lapisan tak teratur dalam bentuk kartilago.
4) Proses osifikasi
meluas sepanjang korpus dan juga mulai memisah pada epifisis yang menghasilkan
tiga pusat osifikasi.
5) Pertumbuhan memanjang
tulang terjadi pada metafisis, lembaran kartilago yang sehat dan hidup antara
pusat osifikasi. Pada metafisis sel-sel kartilago memisah secara vertical. Pada
awalnya setiap sel meghasilkan kartilago sehat dan meluas mendorong sel-sel
yang lebih tua. Kemudian sel-sel mati. Kemudian semua runag mebesar untuk
membentuk lorong-lorong vertical dalm kartilago yang mengalami degenerasi.
Ruang-ruang ini diisi oleh sel-sel pembentuk tulang.
6) Pertumbuhan memanjang
berhenti pada masa dewasa ketika epifisis berfusi dengan korpus.
d. Sistem Vaskularisasi
Pada Tulang
Tulang merupakan jaringan yang kaya akan
vaskuler dengan total aliran darah sekitar 200 sampai 400 cc/menit. Setiap
tulang memiliki arteri penyuplai darah yang membawa nutrient masuk didekat
pertengahan tulang, kemudian bercabang ke atas dan ke bawah menjadi
pembuluh-pembuluh darah mikroskopis. Pembuluh darah ini mensuplai cortex, marrow,
dan system haverst.
e. Sistem Persarafan Pada
Tulang
Serabut syaraf sympathetic dan afferent (sensori)
mempersyarafi tulang. Dilatasi kapiler darah dikontrol oleh syaraf
symphatetic, sementara serabut syaraf afferent mentransmisikan
rangsangan nyeri.
f. Metabolism Tulang
Pertumbuhan dan
metabolisme tulang dipengaruhi oleh mineral dan hormone sebagai berikut :
1) Kalsium dan posfor
Tulang mengandung 99% kalsium tubuh dan 90%
posfor. Konsentrasi kalsium dan posfor dipelihara dalam hubungan terbalik. Sebagai
contoh, apabila kadar kalsium tubuh meningkat maka kadar posfor akan berkurang.
2) Calcitonin
Diproduksi oleh kelenjar typoid memilki aksi
dalam menurunkan kadar kalsium serum jika sekresinya meningkat diatas normal.
3) Vitamin D
Penurunan vitamin D dalam tubuh dapat
menyebabkan osteomalasia pada usia dewasa.
4) Hormon paratiroid
(PTH)
Saat kadar kalsium dalam serum menurun,
sekresi hormone paratiroid akan meningkat dan menstimulasi tulang untuk
meningkatkan aktivitas osteoplastic dan menyalurkan kalsium kedalam darah.
5) Growth hormone (hormone
pertumbuhan)
Hormone pertumbuhan bertanggung jawab dalam
peningkatan panjang tulang dan penentuan jumlah matrik tulang yang dibentuk
pada masa sebelum pubertas.
6) Glukokortikoid
Adrenal glukokortikoid mengatur metabolisme
protein.
7) Sex hormone
Estrogen menstimulasi aktivitas osteobalstik
dan menghambat peran hormone paratiroid. Ketika kadar estrogen menurun seperti
pada saat menopause, wanita sangat rentan terhadap menurunnya kadar estrogen
dengan konsekuensi langsung terhadap kehilangan masa tulang (osteoporosis).
Androgen, seperti testosteron, meningkatkan anabolisme dan meningkatkan masa
tulang.
Seperti terlihat pada
gambar di bawah ini, lapisan terluar dari tulang (cortex) tersusun dari
jaringan tulang yang padat, sementara pada bagian dalam di dalam medulla berupa
jaringan sponge. Bagian tulang paling ujung dari tulang panjang
dikenal sebagai epiphyse yang berbatasan dengan metaphysis.
Metaphysis merupakan bagian dimana tulang tumbuh memanjang secara longitudinal.
Bagian tengah tulang dikenal sebagai dyaphysis yang berbentuk
silindris.
Unit struktural dari
cortical tulang compacta adalah system havers, suatu jaringan (network) saluran
yang kompleks yang mengandung pembuluh-pembuluh darah mikroskopis yang
mensuplai nutrient dan oksigen ke tulang, lacuna, dan
ruang-ruang kecil dimana osteosit berada.
Jaringan lunak di
dalam trabeculae diisi oleh sumsum tulang : sumsum tulang
merah dan kuning. Sumsum tulang merah berfungsi dalam hal hematopoesis,
sementara sumsum kuning mengandung sel lemak yang dapat dimobilisasi dan masuk
ke aliran darah. Osteogenic cells yang kemudian
berdiferensiasi keosteoblast (sel pembentuk tulang) dan osteoclast (sel
penghancur tulang) ditemukan pada lapisan terdalam dari periosteum. Periosteum
adalah lembar jaringan fibrosa dan terdiri atas banyak pembuluh darah.
(Smeltzer, 2002).
B. Anatomi rangka dada
(Toraks)
Gambar 2.2 Anatomi thorak
Davis Company; 2007
Toraks merupakan rangka yang menutupi dada dan
melindungi organ-organ penting di dalamnya. Secara umum toraks tersusun atas
klavikula, skapula, sternum, dan tulang-tulang kostal.
1) Skapula merupakan
tulang yang terletak di sebelah posterior, dan berartikulasi dengan klavikula
melalui akromion. Selain itu, skapula juga berhubungan dengan humerus melalui
fossa glenoid.
2) Klavikula merupakan
tulang yang berartikulasi dengan skapula melalui akromion, dan di ujungnya yang
lain berartikulasi dengan manubrium sternum.
3) Sternum merupakan
suatu tulang yang memanjang, dari atas ke bawah, tersusun atas manubrium,
korpus sternum, dan prosesus xyphoideus. Manubrium berartikulasi dengan
klavikula , kostal pertama, dan korpus sternum. Sedangkan korpus stenum
merupakan tempat berartikulasinya kartilago kostal ke-2 hingga kostal ke-12.
4) Tulang-tulang kostal
merupakan tulang yang berartikulasi dengan vertebra segmen torakal di
posterior, dan di anterior berartikulasi dengan manubrium dan korpus sternum.
Ada 12 tulang kostal; 7 kostal pertama disebut kostal sejati (karena
masing-masing secara terpisah di bagian anterior berartikulasi dengan manubrium
dan korpus sternum), 3 kostal kedua disebut kostal palsu (karena di bagian
anterior ketiganya melekat dengan kostal ke-7), dan 2 kostal terakhir disebut
kostal melayang (karena di bagian anterior keduanya tidak berartikulasi sama
sekali)
(Davis Company; 2007).
2. Sistem Persendian
Artikulasi atau sendi
adalah tempat pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang-tulang ini dipadukan
dengan berbagai cara, misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligament,
tendon, fasia, atau otot.
Sendi dilkasifikasikan
berdasarkan strukturnya, yaitu:
a. Sendi fibrosa (sinartrodial)
Merupakan sendi yang tidak dapat bergerak.
Tulang-tulang dihubungkan oleh serat-serat kolagen yang kuat. Sendi ini
biasanya terikat misalnya sutura tulang tengkorak.
b. Sendi
kartilaginosa (amfiartrodial)
Permukaan tulang ditutupi oleh lapisan
kartilago dan dihubungkan oleh jaringan fibrosa kuat yang tertanam kedalam kartilago
misalnya antara korpus vertebra dan simfisis pubis. Sendi ini biasanya
memungkinkan gerakan sedikit bebas.
c. Sendi synovial (diartrodial)
Sendi ini adalah jenis
sendi yang paling umum. Sendi ini biasanya memungkinkan gerakan yang bebas
(mis., lutut, bahu, siku, pergelangan tangan, dll.) tetapi beberapa sendi
sinovial secara relatif tidak bergerak (misal, sendi sakroiliaka). Sendi ini
dibungkus dalam kapsul fibrosa dibatasi dengan membran sinovial tipis. Membran
ini mensekresi cairan sinovial ke dalam ruang sendi untuk melumasi sendi.
Cairan sinovial normalnya bening, tidak membeku, dan tidak berwarna atau
berwarna kekuningan. Jumlah yang ditemukan pada tiap-tiap sendi normal relatif
kecil (1 sampai 3 ml). hitung sel darah putih pada cairan ini normalnya kurang
dari 200 sel/ml dan terutama adalah sel-sel mononuclear. Cairan synovial juga
bertindak sebagai sumber nutrisi bagi rawan sendi.
Permukaan tulang
dilapisi dengan kartilago artikular halus dan keras dimana permukaan ini
berhubungan dengan tulang lain. Pada beberapa sendi terdapat suatu sabit
kartilago fibrosa yang sebagian memisahkan tulang-tulang sendi (mis., lutut,
rahang).
Jenis sendi synovial :
1) Sendi peluru, missal
pada persendian panggul dan bahu, memungkinkan gerakan bebas penuh.
2) Sendi engsel
memungkinkan gerakan melipat hanya pada satu arah dan contohnya adalah siku dan
lutut.
3) Sendi pelana
memungkinkan gerakan pada dua bidang yang saling tegak lurus. Sendi pada dasar
ibu jari adalah sendi pelana dua sumbu.
4) Sendi pivot contohnya
adalah sendi antara radius dan ulna. Memungkinkan rotasi untuk melakukan
aktivitas seperti memutar pegangan pintu.
5) Sendi peluncur
memungkinkan gerakan terbatas kesemua arah dan contohnya adalah sendi-sendi
tulang karpalia di pergelangan tangan.
3. Sistem Otot
a. Struktur Otot Rangka
Otot rangka tersusun
atas sejumlah besar serat-serat otot. Sel-sel silindris tidak bercabang. Otot
ini disokong oleh jaringan ikat dan mempunyai banyak suplai darah dan saraf.
Setiap sel mempunyai banyak nuklei dan mempunyai penampilan lurik. Dindingnya
atau sarkolema, mengandung myofibril yang dibungkus dengan rapat dalam
sarkoplasma cair. Didalamnya juga ada banyak mitokondria. Warna merah dari otot
berhubungan dengan mioglobin, suatu protein seperti hemoglobin dalam
sarkoplasma.
Setiap miofibril
mempunyai lurik (striasi) terang dan gelap secara bergantian, disebut pita I
dan A secara berurutan. Striasi disebabkan oleh 2 tipe filamen, satu mengandung
protein aktin, dan lainnya mengandung protein myosin.
Kontraksi otot adalah
karena reaksi filament aktin dan miosin satu sama lain, seperti ketika mereka
menyisip satu sama lain dan menarik ujung dari sel otot saling mendekat. Serat
otot memendek sampai dengan sepertiga dari panjangnya saat kontraksi.
Serat-serat otot
biasanya menjalar sejajar terhadap arah tarikan, baik tanpa tendon (otot
kepeng) mis., otot interkostal, atau dengan tendon pada ujungnya (otot
fusiformis) mis., otot bisep. Otot-otot ini mempunyai rentang gerak yang besar
tetapi relative lemah.
Otot pennate lebih
kuat daripada tipe otot di atas, tetapi mempunyai rentang gerak lebih pendek.
Pada otot ini, serat-serat menjalar membentuk sudut terhadap arah tarikan dan
menyisip ke dalam tendon sentral atau tendon pengimbang.
b. Histologi Otot
Ada tiga jenis
jaringan otot yang dapat dibedakan atas dasar strukturnya dan ciri fiologis
yaitu:
1) Otot polos (smooth
muscle/involuntary muscle)
Otot polos mengandung sel berbentuk spindle
dengan panjang 40-200 µm dengan inti terletak di tengah. Myofibril ini sukar
diperlihatkan dan tidak mempunyai corak melintang. Serabut reticular transversa
menghubungkan sel-sel otot yang berdekatan dan membentuk suatu ikatan sehingga
membentuk unik fungsional. Otot polos tidak dibawah pengaruh kehendak.
2) Otot lurik (skeleton
muscle/voluntary muscle)
Otot lurik mengandung
sel-sel otot (serabut otot) dengan ukuran tebal 10-100 µm dan panjang 15 cm.
Serabut otot lurik berasal dari myotom, inti terletak dipinggir, dibawah sarcolema.memanjang
sesuai sumbu panjang serabut otot.
Beberapa serabut otot
bergabung membentuk berkas otot yang dibungkus jaringan ikat yang disebut
endomycium. Bebefrapa endomycium disatukan jaringan ikat disebut perimycium.
Beberapa perimycium dibungkus oleh jaringan ikat yang disebut epimycium
(fascia). Otot lurik dipersyafi oleh system cerebrosfinal dan dapata
dikendalikan. Otot lurik terdapat pada otot skelet, lidah, diaphragm, bagian
atas dinding oesophagus.
3) Otot Jantung
Terdiri dari serabut otot yang bercorak yang
bersifat kontraksinya bersifat otonom. Tetapi dapat dipengaruhi system vagal.
Serabutnya bercabang-cabang, saling berhubungan dengan serabut otot di
dekatnya. Intinya berbentuk panjang dan terletajk di tengah. Sarkosom jauh
lebih banyak dari pada otot rangka.
c. Fungsi Otot Rangka
Otot rangka merupakan
setengah dari berat badan orang dewasa. Fungsi utamanya adalah untuk
menggerakan tulang pada artikulasinya. Kerja ini dengan memendekkan (kontraksi)
otot. Dengan memanjang (relaksasi) otot memungkinkan otot lain untuk
berkontraksi dan menggerakan tulang.
Otot ada yang melekat
langsung pada tulang, tetapi dimana bagian terbesarnya mempengaruhi fungsi
(mis., pada tangan), tangan yang berhubungan langsung dengan tulang, atau
dimana kerjanya perlu dikonsentrasikan, otot dilekatkan dengan tendon fibrosa.
Tendon menyerupai korda, seperti tali, atau bahkan seperti lembaran (mis.,pada
bagian depan abdomen). Tidak ada otot yang bekerja sendiri. Otot selalu bekerja
sebagai bagian dari kelompok, dibawah control system saraf.
Fungsi otot dapat
digambarkan dengan memperhatikan lengan atas. Otot bisep dari lengan atas
dilekatkan oleh tendon ke skapula. Perlekatan ini biasanya tetap stasioner dan
adalah asal (origo) dari otot. Ujung yang lain dari otot dilekatkan pada
radius. Perlekatan ini untuk menggerakan otot dan diketahui sebagai insersio dari
otot.
Bisep adalah
otot fleksor; otot ini menekuk sendi, mengangkat lengan saat ia
memendek. Otot ini juga cenderung memutar lengan untuk memposisikan telapak
tengadah karena titik insersinya. Otot trisep pada punggung lengan atas adalah
otot ekstensor; otot ini meluruskan sendi, mempunyai aksi yang
berlawanan dengan otot bisep.
Selama fleksi
sederhana (menekuk) siku:
1) Bisep kontraksi ? ini
adalah penggerak utama
2) Trisep rileks secara
refleks ? ini adalah antagonis
3) Otot tertentu pada
lengan berkontraksi untuk mencegah gerakan berguling
4) Otot di sekitar bahu
berkontaksi untuk memantapkan sendi bahu
d. Sistem Persarafan Pada
Otot
Otot dipersarafi oleh
2 serat saraf pendek, yaitu:
1) Saraf sensorik yang
membawa impuls dari otot, terutama dari reseptor regangan khusus, gelondong
otot.
2) Saraf motorik yang
membawa impuls ke otot untuk memicu kontraksi otot.
Korpus sel dari
sel-sel saraf motorik terdapat dalam kornu anterior substansia grisea dalam
medula spinalis. Setiap sel saraf mempunyai serat utama atau akson yang
bercabang untuk mempersarafi 50 sampai 200 serat otot. Semua korpus sel
mempersarafi satu sel otot yang terletak berdekatan dalam medulla spinalis.
Impuls saraf mencapai setiap serat otot kira-kira di bagian tegahnya,
pada motor end plate (Lukman, 2009).
Datangnya impuls saraf
ini menyebabkan simpanan asetilkolin dilepaskan dari motor
end plate.Asetilkolin bekerja untuk memperkuat impuls saraf. Ini
menyebabkan gelombang besar aktivitas listrik untuk menjalar sepanjang otot,
menimbulkan perubahan yang menyebabkan otot berkontraksi. Kekuatan kontaksi
tergantung pada jumlah serat-serat yang terstimulasi. Bila impuls berhenti maka
otot rileks (Lukman, 2009).
B. Defenisi
Fraktur pada iga
(costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma tumpul
pada dinding dada. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur
iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat
melalui sela iga (Y arah Azzilzah )
Fraktur pada iga
(costae) adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulang rawan yang
disebabkan oleh ruda paksa pada spesifikasi lokasi pada tulang costa. Trauma
tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma
yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga terutama
pada iga IV-X (mayoritas terkena). Perlu diperiksa adanya kerusakan pada
organ-organ intra-toraks dan intra abdomen.
C. Etiologi
Secara garis besar penyebab fraktur costa
dapat dibagi dalam 2 kelompok :
1. Disebabkan trauma
a. Trauma tumpul
2. Penyebab trauma tumpul yang sering
mengakibatkan adanya fraktur costa antara lain: Kecelakaan
lalulintas,kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar
yang keras atau akibat perkelahian.
a. Trauma Tembus
Penyebab
trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa :Luka tusuk dan luka tembak
3. Disebabkan bukan
trauma
4. Yang dapat mengakibatkan fraktur costa
,terutama akibat gerakan yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan
atau oleh karena adanya gerakan yang berlebihan dan stress fraktur,seperti pada
gerakan olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf.
D. Klasifikasi Fraktur
Penampilkan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk
alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan
sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur
Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh)
tanpa komplikasi.
b. Fraktur
Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
2. Berdasarkan komplit
atau tidak
komplitnya fraktur.
a. Fraktur Komplit,
bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks
tulang
b. Fraktru Inkomplit,
bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
1) Hair Line Fraktur (patah retidak
rambut)
2) Buckle atau
Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya.
3) Green
Stick Fraktur,
mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang
panjang.
3. Berdasarkan
bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a. Fraktur
Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupaka akibat
trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur
Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang
dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur
Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.
d. Fraktur
Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur
Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
4. Berdasarkan jumlah
garis patah.
a. Fraktur
Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur
Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple:
fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
5. Berdasarkan pergeseran
fragmen tulang.
a. Fraktur Undisplaced
(tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan
periosteum masih utuh.
6. Fraktur
Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a. Dislokasi ad
longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b. Dislokasi ad axim
(pergeseran yang membentuk sudut).
c. Dislokasi ad latus
(pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh)
7. Berdasarkan posisi
frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian
:
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
8. Fraktur
Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
9. Fraktur
Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
10. Pada fraktur
tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat
0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat
1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat
2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d. Tingkat
3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman
sindroma kompartement.
E. KLASIFIKASI FRAKTUR
IGA
1. Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan :
a. Fraktur simple
b. Fraktur multiple
2. Menurut jumlah fraktur
pada setiap costa dapat :
a. Fraktur segmental
b. Fraktur simple
c. Fraktur comminutif
3. Menurut letak fraktur
dibedakan :
a. Superior (costa 1-3 )
b. Median (costa 4-9)
c. Inferior (costa 10-12
).
4. Menurut posisi :
a. Anterior
b. Lateral
c. Posterior.
5. Fraktur
costa atas (1-3) dan fraktur Skapula
a. Akibat dari tenaga
yang besar
b. Meningkatnya resiko trauma kepala dan leher,
spinal cord, paru, pembuluh darah besar
c. Mortalitas sampai 35%.
6. Fraktur Costae tengah
(4-9) :
a. Peningkatan signifikansi
jika multiple. Fraktur kosta simple tanpa komplikasi dapat ditangani pada rawat
jalan.
b. MRS jika pada
observasi
c. Penderita dispneu
d. Mengeluh
nyeri yang tidak dapat dihilangkan
e. Penderita berusia tua
f. Memiliki preexisting
lung function yang buruk.
7. Fraktur
Costae bawah (10-12) :
Terkait dengan resiko injury pada hepar dan
spleen
F. Patofisiologi
Fraktur costa dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari
arah depan,samping ataupun dari arah belakang.Trauma yang mengenai dada
biasanya akan menimbulkan trauma costa,tetapi dengan adanya otot yang
melindungi costa pada dinding dada,maka tidak semua trauma dada akan terjadi
fraktur costa.
Pada trauma langsung dengan energi yang hebat dapat terjadi
fraktur costa pada tempat traumanya .Pada trauma tidak langsung, fraktur costa
dapat terjadi apabila energi yang diterimanya melebihi batas tolerasi dari
kelenturan costa tersebut.Seperti pada kasus kecelakaan dimana dada terhimpit
dari depan dan belakang,maka akan terjadi fraktur pada sebelah depan dari
angulus costa,dimana pada tempat tersebut merupakan bagian yang paling lemah.
Fraktur costa yang “displace” akan dapat mencederai jaringan
sekitarnya atau bahkan organ dibawahnya.Fraktur pada costa ke 4-9 dapat
mencederai intercostalis ,pleura visceralis,paru maupun jantung ,sehingga dapat
mengakibatkan timbulnya hematotoraks,pneumotoraks ataupun laserasi jantung.
G. WOC
Gerakan dinding dada terhambat/asimetris
|
Lengkung iga akan lebih melengkung lagi ke arah lateral
|
Fraktur iga
|
Terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke rongga
pleura
|
Kerusakan struktur & jaringan
|
Trauma kompresi anteroposterior dari rongga thorax
|
Stimulasi saraf
|
Nyeri dada
|
Gangguan ventilasi
|
Sesak nafas
|
Hemotoraks
|
Pneumothoraks
|
Krepitasi
|
H. Tanda Dan Gejala
1. Nyeri tekan, crepitus dan deformitas dinding
dada
2. Adanya gerakan paradoksal
3. Tanda–tanda insuffisiensi pernafasan :
Cyanosis, tachypnea.
4. Kadang akan tampak ketakutan dan cemas, karena
saat bernafas bertambah nyeri
5. Korban bernafas dengan cepat , dangkal dan
tersendat . Hal ini sebagaiusaha untuk membatasi gerakan dan mengurangi rasa
nyeri.
6. Nyeri tajam pada daerah fraktur yang bertambah
ketika bernafas dan batuk
7. Mungkin terjadi luka terbuka diatas fraktur,
dan dari luka ini dapat terdengar suara udara yang “dihisap” masuk ke dalam
rongga dada.
8. Gejala-gejala perdarahan dalam dan syok.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen standar
a. Rontgen thorax
anteroposterior dan lateral dapat membantu diagnosis hematothoraks dan
pneumothoraks ataupun contusio pulmonum, mengetahui jenis dan letak fraktur
costae.
b. Foto oblique membantu diagnosis fraktur
multiple pada orang dewasa.
2. Pemeriksaan Rontgen toraks harus dilakukan
untuk menyingkirkan cedera toraks lain, namun tidak perlu untuk identifikasi
fraktur iga.
3. EKG
4. Monitor laju nafas, analisis gas darah
5. Pulse oksimetri
J. Penatalaksanaan
1. Primary survey
a. Airway dengan kontrol
servikal
Penilaian:
1) Perhatikan patensi airway
(inspeksi, auskultasi, palpasi)
2) Penilaian akan adanya
obstruksi
Management:
4) Bersihkan
airway dari benda asing.
b. Breathing dan ventilasi
Penilaian
1) Buka leher dan dada
penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line
immobilisasi
2) Tentukan laju dan dalamnya
pernapasan
3) Inspeksi dan palpasi
leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea,
ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan
tanda-tanda cedera lainnya.
4) Perkusi thoraks untuk
menentukan redup atau hipersonor
5) Auskultasi thoraks
bilateral
Management:
1) Pemberian oksigen
2) Pemberian analgesia untuk
mengurangi nyeri dan membantu pengembangan dada: Morphine Sulfate. Hidrokodon atau kodein yang dikombinasi
denganaspirin atau asetaminofen setiap 4 jam.
3) Blok nervus
interkostalis dapat digunakan untuk mengatasi nyeri berat akibat fraktur costae
a) Bupivakain (Marcaine)
0,5% 2 sampai 5 ml, diinfiltrasikan di sekitar n. interkostalis pada costa yang
fraktur serta costa-costa di atas dan di bawah yang cedera
b) Tempat penyuntikan di
bawah tepi bawah costa, antara tempat fraktur dan prosesus spinosus. Jangan sampai mengenai pembuluh
darah interkostalis dan parenkim paru
4) Pengikatan dada yang
kuat tidak dianjurkan karena dapat membatasi pernapasan.
c. Circulation dengan kontrol perdarahan
Penilaian
1) Mengetahui sumber
perdarahan eksternal yang fatal
2) Mengetahui sumber
perdarahan internal
3) Periksa nadi:
kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya
pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif
segera.
4) Periksa warna kulit,
kenali tanda-tanda sianosis.
5) Periksa tekanan darah
Management:
1) Penekanan langsung
pada sumber perdarahan eksternal
2) Pasang kateter IV 2
jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin,
kimia darah, golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas
Darah (BGA).
3) Beri cairan kristaloid 1-2
liter yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat
4) Transfusi darah jika
perdarahan masif dan tidak ada respon os terhadap pemberian cairan awal.
5) Pemasangan kateter urin untuk monitoring
indeks perfusi jaringan.
d. Disability
1) Menilai tingkat kesadaran
memakai GCS
2) Nilai pupil : besarnya,
isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi.
e. Exposure/environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri
selimut hangat dan temapatkan pada ruangan yang cukup hangat.
2. Tambahan primary survey
a. Pasang monitor EKG
b. Kateter urin dan lambung
c. Monitor laju nafas,
analisis gas darah
d. Pulse oksimetri
e. Pemeriksaan rontgen
standar
f. Lab darah
3. Resusitasi fungsi vital
dan re-evaluasi
Re-evaluasi penderita
a. Penilaian respon
penderita terhadap pemberian cairan awal
b. Nilai perfusi organ
(nadi, warna kulit, kesadaran, dan produksi urin) serta awasi tanda-tanda syok.
4. Secondary survey
a. Anamnesis à AMPLE dan mekanisme
trauma
b. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan maksilofasial
2) Vertebra servikal dan
leher
3) Thorax
4) Abdomen
5) Perineum
6) Musculoskeletal
7) Neurologis
8) Reevaluasi penderita
5. Rujuk
a. Pasien dirujuk apabila
rumah sakit tidak mampu menangani pasien karena keterbatasan SDM maupun
fasilitas serta keadaan pasien yang masih memungkinkan untuk dirujuk.
b. Tentukan indikasi
rujukan, prosedur rujukan, dan kebutuhan penderita selama perjalanan serta
komunikasikan dnegan dokter pada pusat rujukan yang dituju.
6. Penatalaksanaan umum
untuk fraktur
Prinsip penanganan pada fraktur meliputi
reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan
rehabilitasi.
a. Reduksi
Reduksi adalah usaha dan tindakan
memanipulasi atau mengembalikan fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat
mungkin untuk kembali seperti letak asalnya. Metode untuk mencapai reduksi
fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode
yang dipilih untuk reduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya.
Pada fraktur iga digunakan reduksi
terbuka dengan fiksasi interna yang digunakan dengan
menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah dengan operatif untuk menghindari
cacat permanen. Alat fiksasi internayang digunakan berupa pin, kawat,
sekrup, plat. Indikasi Operasi
(stabilisasi) pada flail chest bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain seperti hematotoraks.
b. Imobilisasi
Imobilisasi digunakan dengan mempertahankan
dan mengembalikan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan, untuk itu pasien dengan fraktur iga dianjurkan untuk tidak
melakukan aktivitas fisik untuk sementara waktu. Perawat berpartisipasi
membantu segala aktivitas perawatan mandiri pasien. Pada fraktur iga tidak dianjurkan dilakukan
pembebatan karena dapat mengganggu mekanisme bernapas.
c. Rehabilitasi
Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan,
mengoptimalkan serta stabilisasi fungsi organ selama masa imobilisasi. Bersama
ahli fisioterapi secara bertahap dilakukan aktifitas fisik yang ringan hingga
tahap pemulihan fungsi organ terjadi.
K. Prognosis
1. Fraktur costae pada anak
dengan tanpa komplikasi memiliki prognosis baik.
2. Fraktur costae pada orang
dewasa, penyambungan tulang relatif lebih lama dan biasanya disertai
komplikasi.
L. Diagnosa Banding
1. Contusio dinding dada
2. Fraktur sternum
3. Flail chest
Adalah area toraks
yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel
berturutan ≥ 3 iga , dan memiliki garis fraktur ≥ 2 (segmented) pada tiap
iganya
M. Komplikasi
1. Atelektasis
2. Pneumonia
3. hematotoraks
4. pneumotoraks
5. cidera intercostalis,
pleura visceralis, paru maupun jantung
N. Prinsip Legal dan Etik
Praktik keperawatan dipengaruhi
oleh hukum, terutama yang berhubungan dengan hak pasien dan kualitas
asuhan. Pengetahuan
tentang hukum meningkatkan kebebasan baik bagi perawat maupun pasien.
1. Peran
legal perawat
Perawat memiliki hak dan tanggung jawab dalam
tiga peran legal : perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat sebagai
pekerja, dan perawat sebagai warga negara. Perawat mungkin mengalami konflik
kepentingan antara hak dan tanggung jawab ini. Penilaian keperawatan
professional memerlukan pemeriksaan yang teliti dalam konteks asuhan
keperawatan, kemungkinan konsekuensi tindakan keperawatan dan alternatif yang
mungkin dilakukan perawat.
2. Pertimbangan
Etik
Prinsip legal etik yang dapat diterapkan
dalam keperawatan pasien dengan fraktur iga dapat meliputi :
a. Otonomi
Otonomi merupakan suatu kebebasan dalam
menentukan pilihan tentang kehidupan seseorang. Pada pasien fraktur iga,
prinsip otonomi sangat penting. kewenangan atau kebebasan dari klien maupun
dari pihak keluarga harus diberikan. Peran perawat disini harus menghargai
harkat dan martabat manusia sebagai individu yang dapat memutuskan hal yang
terbaik buat dirinya.
Perawat harus melibatkan klien dan keluarga
atau orang terdekat klien untuk berpartispasi dalam membuat keputusan yang
berhubungan dengan asuhan keperawatan klien, yakni kebebasan memilih apakah
klien mau dirawat, dioperasi demi keselamatan klien atau justru tidak ingin ada
program perawatan ataupun pengobatan. Hal tersebut adalah hak klien dan
keluarga dalam mengambil keputusan.
b. Kemurahan Hati
Prinsip ini mengharuskan perawat bertindak
dengan cara menguntungkan klien. Dalam arti, tanggung jawab untuk melakukan
kebaikan yang menguntungkan. Peran perawat disini menasihati klien ataupun
keluaga tentang program pengobatan untuk meperbaiki kesehatan secara umum.
c. Non-Maleficience
Prinsip ini mengharuskan perawat bertindak
dengan cara yang tidak menimbulkan bahaya bagi klein.
d. Kejujuran
Perawat harus mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi terkait apapun satus kesehatan klien, baik dalam kondisi
baik maupun pada keadaan terminal yang menyangkut kematian kien. Kejujuran
merupakan dasar terbinanya hubungan saling percaya antara perawat-klien.
e. Kerahasiaan
Perawat ataupun tenaga medis tidak boleh
memberikan informasi mengenai penyakit fraktur iga yang klien derita dan
semuan informasi yang telah dipercayakan kepadanya.
f. Keadilan
Klien fraktur iga berhak mendapat
pengobatan yang adil, pantas dan tepat. Ini berarti kebutuhan kesehatan klien
yang sederajat harus menerima sumber pelayanan kesehatan dalam jumlah
sebanding.
g. Kesetiaan
Perawat dan tenaga medis harus tanggung
jawab untuk tetap setia pada suatu kesepakatan. Tanggung jawab dalam konteks
hubungan perawat-klien meliputi tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan
konfidensi, dan memberikan perhatian/kepedulian sepenuhnya. Kesetiaan perawat
terhadap janji-janji tersebut mungkin tidak mengurangi penyakit atau mencegah
kematian, tetapi akan mempengahui kehidupan klien serta kualitas kehidupannya.
O. Manajemen Keperawatan
Proses majemen keperawatan yang mendukung
proses keperawatan
Figur
1.6
Proses manajemen
keperawatan
yang mendukung proses
keperawatan (Gillies, 1996: 2)
Prinsip manajemen keperawatan adalah:
1. Manajemen adalah kegiatan
pengelolaan dan pengambilan keputusan.
2. Pengelolaan dan
pengambilan keputusan selalu dihadapkan pada ketidakpastian (uncertainly).
3. Untuk memperoleh tujuan
pengambilan keputusan dan mengurangi ketidakpastian diperlukan data: informasi,
dan proses pengendalian.
P. Asuhan keperawatan
teoritis
1. Pengkajian teoritis
a. Aktivitas / istirahat
Tanda
: Keterbatasan gerak/ kehilangan fungsi motorik pada bagian yang terkena (
dapat segera atau sekunder, akibat pembengkakan atau nyeri). Serta
adanya kesulitan dalam istiraha-tidur akibat nyeri.
b. Sirkulasi
Tanda
: Hipertensi ( kadang-kadang terlihat respons terhadap nyeri atau ansietas)
atau hipotensi (hipovolemia). Takikardi (respons stress, hipovolemia. Penurunan
atau tak teraba nadi distal, pengisian kapiler lambat, kulit dan kuku pucat
atau sianosis. Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
Gejala:
Hilang gerak atau sensasi, spasme otot. Kebas atau kesemutan (parestesi)
Tanda:
Deformitas tulang, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme
otot, kelemahan atau hilang fungsi. Agitasi berhubungan dengan nyeri, ansietas,
trauma lain.
d. Kenyamanan
Gejala:
Nyeri berat tiba-tiba saat cedera ( mungkin terlokalisasi pada area jaringan
atau kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi), tak ada nyeri akibat
kerusakan saraf. Spasme atau kram otot (setelah imobilisasi.
e. Keamanan
Laserasi
kulit, avulsi jaringan, perdarahan, dan perubahan warna kulit, pembengkakan
lokal dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba.
2. Diagnosa keperawatan
teoritis
a. Nyeri
akut berhubungn
dengan spasme
otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi,
stress/ansietas
b. Gangguan
pertukaran gas berhubungan
dengan perubahan
aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema
paru, kongesti)
c. Gangguan
mobilitas fisik berhubungan
dengan kerusakan
rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).
No comments:
Post a Comment